Jenis manusia yang ditokohkan di sebuah zaman akan menentukan ke mana peradaban akan bertumbuh kemudian. Di gua-gua sangat tua di Prancis Selatan serta Spanyol Utara ada lukisan panjang manusia-manusia kekar lengkap dengan binatang buruan mereka. Maklum, di zaman itu yang disebut pahlawan adalah manusia-manusia pemberani yang bisa mengalahkan binatang buas.
Di akhir abad 19 sampai abad 20, bumi lama sekali tegang karena perang dingin antara dua negara adi kuasa. Di saat itu, manusia yang menguasasi teknologi bom atom adalah pahlawan yang sangat dibutuhkan. Di zaman ini lain lagi. Yang paling ditakuti manusia bukan lagi senjata nuklir, tapi bom teroris. Tidak saja orang biasa takut dengan bom teroris, bahkan negara adi kuasa pun harus menutup negaranya rapat-rapat agar bebas dari serangan teroris. Hasilnya, belum ada tanda-tanda kekerasan teroris akan menurun.
Jika dibikin ringkas, sejak ribuan tahun lalu manusia yang ditokohkan (pahlawan) selalu identik dengan manusia yang tumbuh di tengah kekerasan. Sehingga mudah dimaklumi kalau peradaban terus menerus bertumbuh dari satu kekerasan menuju kekerasan yang lain. Jangankan di ibu kota yang banyak manusianya, bahkan di desa yang sedikit penghuninya pun kekerasan bertumbuh pesat sekali.
Hasilnya sudah dicatat sejarah secara sangat rapi, angka bunuh diri, penghuni rumah sakit jiwa, angka perceraian semuanya terus menerus meningkat. Di beberapa belahan bumi terlihat terang benderang, banyak manusia bisa berbuat sangat anarkis hanya karena sebuah ketidaksempurnaan yang sangat kecil.
Di tengah daftar panjang kekerasan seperti ini, apa yang dibutuhkan dunia bukan lagi senjata yang baru, tapi pengertian tentang pahlawan yang baru. Beberapa waktu setelah pasukan Amerika Serikat ditarik dari Vietnam sekian tahun lalu, pernah muncul film Rambo dengan tokoh Sylvester Stallone. Lagi-lagi ia bercerita tentang tokoh yang membawa senjata, menghancurkan nyawa orang dengan penuh kekerasan.
Dan setelah pemunculan film itu, teroris malah menyerang Amerika Serikat dengan kekuatan yang tidak kebayang ganasnya. Sekali lagi ia memberi masukan terang benderang, yang dibutuhkan dunia bukan senjata yang baru tapi hati yang baru. Sejenis hati yang bisa melihat dan merasakan, yang ada di balik kekerasan bukan agama, bukan juga kejahatan, melainkan penderitaan yang tidak tertahankan.
Di sana-sini terlihat jiwa-jiwa menderita. Orang miskin menderita karena tidak bisa makan. Orang kaya menderita karena takut kehilangan. Negeri miskin menderita karena kekurangan pangan. Negeri kaya menderita karena takut diserang. Dengan cara pandang seperti ini, tidak saja niat melakukan kekerasan menurun, tapi benih-benih kasih sayang juga meningkat.
Sebagaimana tanah subur bisa menghasilkan bunga-bunga indah, hati yang merasakan kehadiran penderitaan di mana-mana juga bisa berbagi cahaya indah. Bukan kebetulan kalau di zaman ini dunia mengagumi Nelson Mandela, Bunda Teresa, YM Dalai Lama, serta Mahatma Gandhi. Tokoh-tokoh ini memang lahir di agama yang berbeda. Tapi semuanya tumbuh di lahan yang sama yakni penderitaan yang tidak tertahankan.
Ia menyisakan jejak-jejak pesan, kenali penderitaan alam ini sejak awal. Rasakan penderitaan semua mahluk tanpa terkecuali. Kemudian izinkan penderitaan menyirami benih-benih kelembutan di dalam. Kapan saja pikiran mengeras, perasaan mengeras, cepat lembutkan energi keras di dalam dengan pemahaman sederhana: “kita semua menderita, kita semua mau bahagia”.
Bagus sekali jika orang tua bisa menjadi tokoh kelembutan di rumah. Indah sekali kalau para Guru sekolah juga menjadi tokoh kelembutan di sekolah. Seawal mungkin jauhkan anak-anak dan generasi baru dari tontonan, bacaan, pergaulan yang menyirami benih-benih kekerasan. Melalui pendekatan ini, bersama-sama kita mempersiapkan lahirnya pahlawan-pahlawan cahaya di masa depan. Mereka ditokohkan bukan karena kekerasan yang dilakukan, tapi ditokohkan karena kelembutan yang mereka pancarkan.
sumber : http://gedeprama.blogdetik.com/2017/06/02/pahlawan-cahaya